Mungkin karena terlalu larut dalam karakter yang baru saja ia perankan, finalis Wajah Femina tahun 2000 ini kerap masih mudah menitikkan air mata. Karakter yang seratus delapan puluh derajat berbeda dari karakter aslinya. Ia memang selalu berusaha mendalami tiap karakter yang diperankannya.
“Saya kemarin sempat dicakar ibu-ibu yang gemas dengan karakter saya di sinetron,” kata Ririn, sambil menunjukkan bekas luka di daerah lehernya. Begitulah salah satu risiko menerima peran antagonis. Namun, ia tidak marah, toh, itu berarti perannya cukup meyakinkan. Malah ia seolah senang ada juga penonton yang mengenalinya. Ia mengakui, namanya belum terlalu dikenal orang. Padahal, sesungguhnya ia sudah melakoni puluhan FTV, beberapa sinetron, juga film layar lebar. Beberapa film yang sudah ia perankan antara lain Rindu Purnama (2011), Serdadu Kumbang (2011), Di Timur Matahari (2012), Ambilkan Bulan (2012), serta filmnya yang baru saja rilis, Kisah 3 Titik.
“Saya tidak ingin dikenal orang karena sensasi. Saya lebih suka dikenal karena pekerjaan dan karya saya,” katanya. Ririn mengaku tidak terlalu ngoyo mengejar popularitas sehingga menyabet apa pun film yang ditawarkan kepadanya. “Saya ingin anak saya, Jasmine, tidak malu saat nonton film saya. Apalagi kalau dia nonton dengan teman-temannya. Itu sebabnya, saya menolak peran-peran yang mengharuskan memakai baju seksi. Malu sama anak,” katanya, memberi alasan.
Film terakhir yang ia perankan rupanya meninggalkan kesan mendalam bagi Ririn. Di film itu ia berperan sebagai Titik Sulastri atau sering dipanggil Titik Janda, seorang buruh yang ditinggal mati suaminya karena sakit saat ia sedang hamil anak kedua. Menjadi janda dengan dua anak, Titik berusaha menghidupi keluarganya dengan berbagai cara halal. Akhirnya ia memutuskan bekerja di pabrik garmen. Tapi, karena di pabrik tidak boleh hamil, maka ia menutupi kehamilannya selama bekerja.
“Sudah jatuh, ditimpa tangga, Titik ternyata menderita kanker payudara. Terbayang kan, ia menyusui sambil kesakitan,” kata Ririn, sambil mengusap air mata. Ia mengaku, banyak belajar dari Titik, tokoh fiktif yang ia perankan. “Saya bukan perempuan yang cengeng. Bahkan, saya termasuk tomboi. Sejak kecil saya seolah diposisikan sebagai pelindung keluarga. Saat adik belajar tari, saya belajar taekwondo. Tapi, di film ini saya menjadi sosok yang jauh berbeda,” katanya.
Ririn mengaku termasuk orang yang cuek, tidak pernah ambil pusing pada omongan orang lain, sementara Titik yang ia perankan adalah orang yang diam, selalu memikirkan omongan orang, dan selalu memendam perasaan. Uniknya, setelah berperan sebagai Titik, ia kini mengaku mudah menangis gara-gara hal sepele, seperti nonton drama Korea atau menceritakan kisah tokoh Titik itu sendiri. “Menarik banget karakternya. Saya mau main film ini karena produsernya Lola Amaria. Tiap filmnya selalu bermutu, punya pesan dan kesan,” katanya, antusias.
Ririn mengakui, tiap karakter yang ia perankan dalam film pasti memiliki kesan tersendiri, namun yang terakhir ini memang memberi pelajaran tersendiri. “Saya yakin, di luar sana banyak perempuan yang pernah mengalami perasaan seperti tokoh dalam film ini. Dari Titik Janda, saya belajar pasrah dan ikhlas menerima keadaan,” katanya.
Film ini juga membuatnya sedikit lebih kritis melihat sekitar, terutama dunia buruh. “Kita semua kan sebetulnya buruh, hanya bidang dan bentuknya saja yang beda-beda. Sistem perburuhan di Indonesia masih belum ideal. Film ini tidak memberatkan siapa pun, tapi setidaknya membuat kita berpikir, bahwa kita punya hak sebagai pegawai,” katanya. Namun, di lain sisi ia juga belajar bahwa tiap pekerjaan harus dilakukan dengan cinta. “Kalau kita selalu mengeluh tiap saat dan tidak ikhlas bekerja, kita malah capek sendiri,“ katanya.
0 komentar:
Posting Komentar